BANDA ACEH, SIPNEWS.ID – Sengkarut di lembaga kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, mulai menyeruak menyusul keberanian kalangan LSM membuka “borok” di rumah sakit pemerintah itu.
Menurut salah satu LSM di Aceh yakni DPP Lembaga Pemuda Aceh Reformasi (PAR), permasalahan sekarang yang terjadi di RSUDZA yakni pengadaan Bahan Habis Pakai (BHP) yang tidak memenuhi standar rumah sakit tipe-A.
Menurut Ketua DPP PAR Muhammad Farras, salah satu contoh pengadaan alat Abocath di mana RSUDZA yang diduga tidak pernah mengunakan merk yang berkualitas.
Biasanya, untuk RSU tipe-A yang dipakai adalah merk Terumo yang sudah teruji kualitas serta keamanan dan kenyamanannya terhadap pasien.
“Tetapi pada zaman kepemimpinan Direktur RSUDZA dr. Isra Firmansyah, Sp.A yang digunakan adalah Abocath yang berkualitas rendah,” kata Muhammad Asra.
Peralatan itu, yang berkualitas rendah, hanya lazim digunakan di Puskesmas.
Karena diduga kualitasnya rendah, saat digunakan di ruang IGD sering kali peralatan tersebut patah, digunakan.
Dan, waktu digunakan, pasien sering mengeluhkan rasa sakit yang tidak pernah dialami oleh pasien saat menggunakan merk Terumo.
Menurutnya, karena kondisi AHP sangat memprihatinkan itu, user di sana atau pihak ruangan meminta alat kesehatan yang lebih berkualitas. Namun, manejemen menyediakan merek lain.
“Pada waktu diminta disediakan merek B, dibelikan merek A yang berkualitas rendah karena muncul dugaan oknum pengelola barang lebih mementingkan fee yang besar yang diberikan oleh distributor yang bisa di ajak kerja sama,” kata Muhammad Arsa Farras.
Menurutnya, informasi yang berkembang oknum orang dekat direktur sering meminta fee yang besar sebelum barang dipesan.
“Ini memang benar seperti yang beritakan sebelumnya oleh salah satu media yang bekerja adalah kroni-kroni pejabat tertentu,” katanya.
Dinilai juga, pejabat di RSUDZA tersebut sangat arogan, sehingga jika ada masalah dengan direktur langsung dipindahkan ke bagian lain seperti ke ruang loundry.
Begitu pula, dalam hal perjalanan dinas, hanya diperuntukkan untuk oknum tertentu.
Menurut sinyalemen, Muhammad Farras, menduga pihak RSUDZA juga hanya membiarkan peran oknum berinisial M selaku Bina Program (RSUDZA) ikut menentukan pembelian BHP yang di bawah standar.
“Seharusnya pihak yang menjadi pihak pengadaan alat kesehatan untuk rumah sakit tipe-A disesuaikan dengan spesifikasi atas usulan kebutuhan unit kerja,” kata Muhammad Arsa Farras.
Masalah gaji bagi ASN yang naik pangkat di RSUDZA, disinyalir juga tidak langsung dibayarkan pada bulan berikutnya, tetapi masih memberlakukan pembayaran gaji pada golongan lama.
“Waktu kita tanya sama bendaharawan gaji, mereka mengatakan dana nggak cukup, berarti yang duduk jadi Kabid Bina Program tersebut tidak paham, bukan ahli nya,” kata sumber yang enggan disebutkan namanya.
Disinyalir, dalam proses pengadaan, pihak distributor Indo Sofa dipanggil duduk di luar kantor.
“Siapa yang berani menyediakan fee terlebih dahulu sebelum diklik (diluluskan-red) di atas 15 persen, baru dibeli barang distributor tersebut,” begitu keterangan tentang carut marutnya manajemen sebagaimana diungkap kalangan LSM yang peduli terhadap lembaga kesehatan kebanggan rakyat Aceh.(Sumber: MA).